Ketika usia beliau 12 th, nabi Muhammad saw diajak pamannya Abu Thalib berdagang ke Syam. Saat sampai ke Bashra mereka bertemu seorang pendeta bernama Bahira, ia adalah seorang pendeta Nasrani yang sangat ahli tentang Injil. Ketika ia melewati nabi Muhammad saw, ia mengamatinya dan mengajaknya berbicara. Beberapa saat kemudian Bahira menoleh kepada Abu Thalib dan bertanya, “Apa kedudukan anak ini di sisimu?” Jawab Abu Thalib, “Ia anakku.” (Abu Thalib selalu memanggil nabi Muhammad saw sebagai anaknya, karena kecintaannya yang sangat pd beliau), Bahira berkata, “Dia bukan anakmu, karena tidak mungkin ayah anak ini masih hidup.” Abu Thalib terkejut dan berkata, “Ia anak saudaraku.” Maka tanya Bahira lagi, “Bagaimana kondisi ayahnya?” Abu Thalib menjawab, “Ia meninggal saat ibu anak ini mengandungnya.” Kata Bahira, “Kali ini jawaban Anda benar! Bawalah anak ini pulang dan jaga dia dari orang Yahudi. Karena kalau mereka melihat dia di sini, pasti akan dicelakakannya. Sungguh putra saudaramu ini kelak akan berurusan dg sebuah perkara yang sangat besar” Maka Abu Thalib cepat pulang kembali ke Makkah[1].
Saat masa remajanya nabi Muhammad saw mencari rizqi dg menggembalakan kambing dan mengambil upahnya. Beliau bercerita tentang dirinya, “Aku dulu menggembalakan kambing milik penduduk Makkah dan mendapatkan upah beberapa qirath[2].” Dan selama masa mudanya, Allah Taala memeliharanya dari berbagai penyimpangan yang biasanya dilakukan oleh para pemuda lain seusianya, seperti hura-hura, nonton bareng, pacaran dan pelbagai perbuatan maksiat lainnya[3].
Beberapa Pelajaran Dan Hukum Yang Dapat Diambil
1. Bahwa nampak jelas para Ahli Kitab generasi awal (baik Yahudi dan Nasrani) sangat mengetahui akan tibanya seorang nabi terakhir yang akan menyempurnakan agama mereka. Hal ini nampak dari hadits di atas. Maha Suci Allah Taala yang telah berfirman, “Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pd mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapatkan kemenangan atas orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat ALLAH-lah atas orang yang ingkar itu.” (Al-Baqarah: 89)
2. Bahwa nampak pula bahwa mereka tersebut juga sangat mengetahui secara detil tentang ciri fisik dan pribadi sang nabi terakhir tersebut dalam kitab mereka (Taurat dan Injil), hal ini nampak dari kesimpulan Bahira ketika ia selesai mengamat-amati nabi Muhammad saw, dan hal ini juga diperkuat oleh ayat al-Qur’an, “Org Yahudi dan Nasrani yang telah KAMI berikan al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 146) Umar bin Khathab ra pernah bertanya kepada Abdullah bin Salam (seorang Yahudi yang masuk Islam): Apakah benar kamu mengetahui ciri Muhammad lebih dari ciri anakmu sendiri? Jawab Ibnu Salam: Bahkan lebih, karena Allah Taala telah menjelaskan tentang nabi-Nya dalam al-Kitab, sementara anak kami tidak mengetahui apa yang akan terjadi pd mereka.
3. Bahwa untuk para Ahli Kitab generasi berikutnya, maka mereka sebagian besar tidak lagi mendapatkan ciri tersebut dalam kitab mereka, karena berbagai pemalsuan dan perubahan yang terus-menerus dilakukan oleh para Rahib dan Pendeta mereka atas kitab mereka. Maha Benar Allah Taala yang telah berfirman, “Dan sebagian mereka adalah buta, tidak mengetahui apa isi al-Kitab kecuali dongengan yang dusta belaka. Maka kecelakaan besarlah bagi orang yang menulis al-Kitab dg tangan mereka sendiri, lalu mereka katakan: Ini dari ALLAH. Untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit dari perbuatan mereka itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka tulis dan kecelakaan besarlah bagi mereka atas apa yang mereka perbuat.” (Al-Baqarah: 78-79)
4. Bahwa dalam kaitan dg pekerjaan nabi Muhammad saw menggembala kambing ada 3 pelajaran yang dapat diambil sebagai berikut;
a. Perasaan yang halus, beliau memiliki perasaan yang sangat sensitif, walaupun ia dinafkahi oleh pamannya yang amat sangat menyayanginya, tapi beliau berusaha sekuat tenaga meringankan beban pamannya sekemampuan beliau. Walaupun penghasilannya tidak besar, tapi beliau sejak muda telah memiliki sifat yang mandiri dan tidak manja serta menggantungkan dirinya pd siapa pun walaupun beliau anak yang sejak kecil yatim-piatu, sehingga beliau dipuji oleh Allah Taala dalam ayatnya, “Telah datang kepada kalian seorang Rasul dari jenis kalian sendiri (manusia), terasa berat baginya penderitaan kalian, sangat menginginkan keselamatan dan keimanan bagi kalian, dan amat belas-kasih kepada orang yang beriman. Dan jika mereka masih berpaling juga maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah kecuali Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Pemilik Arsy yang Agung.” (At-Taubah: 128)
b. Menjelaskan tentang hikmah ujian dan cobaan Allah bagi manusia, Allah Taala Maha Berkuasa untuk sejak kecil mencukupi dan memberi rezki kepada manusia yang paling dikasihi dan paling dimuliakan-Nya, tapi Allah Taala berkenan untuk memberikan ujian yang sangat berat kepada hamba terkasih-Nya itu untuk suatu hikmah penciptaan manusia untuk menguji mereka, siapa di antara hamba-Nya yang mampu untuk bersabar. Maha Benar Allah Taala ketika Dia berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Jannah? Padahal belum lagi datang kepadamu cobaan sebagaimana yang dialami oleh orang sebelummu? Mereka itu telah ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan oleh guncangan yang hebat, sampai berkatalah Rasul dan orang yang bersamanya: Kapankah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah bahwa pertolongan Allah itu sangat dekat.” (Al-Baqarah: 214)
c. Pekerjaan menggembala kambing milik orang lain adalah pekerjaan menjaga amanah dari orang, artinya sejak usia yang sangat belia beliau telah dilatih dg sifat dan akhlaq yang tinggi dan mulia. Beliau berpanas-panas di siang hari dan berdingin pada malam hari menjaga amanah orang lain, sehingga dari sejak kecil beliau memiliki budi-pekerti yang mulia, hal ini dipuji oleh Allah Taala dalam Al-Qur’an dalam ayat-Nya yang mulia, “Dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad, benar memiliki budi-pekerti yang sangat agung.” (Al-Qalam: 4)
5. Berkaitan dengan kisah masa muda beliau yang berbeda dg pemuda-pemudi lainnya, maka terdapat beberapa pelajaran bagi kita, sebagai berikut;
Bahwa nabi Muhammad saw walaupun beliau seorang nabi tapi beliau tetap seorang manusia yang memiliki kecenderungan kemanusiaannya untuk juga ingin berbuat kemaksiatan, sebagaimana firman Allah Taala tentang perkataan nabi Yusuf as, “Dan aku tidak berusaha melepaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu senantiasa cenderung kepada keburukan (ammarah bis su’)…” (Yusuf: 53) Sehingga dg hal ini Allah Taala ingin menunjukkan kepada kita bahwa nabi Muhammad saw pun sama halnya dg kita memiliki sifat kemanusiaan, namun yang dilakukan selanjutnya adalah bagaimana kita mengekang dan mengarahkan semua sifat itu dg disiplin agar ia bisa cenderung kepada kebaikan dan tidak bertoleransi atau membiarkannya.
Akan kasusnya dengan nabi Muhammad saw, maka beliau tidak memiliki pembimbing dan penjaga seperti kita, maka oleh karena itu beliau dibimbing dan ditegur langsung oleh Allah Taala jika melakukan kesalahan, dan Allah Taala tidak pernah mentolerir kesalahan apapun yang dilakukan oleh manusia yang paling dicintai-Nya itu, sebagaimana firman Allah Taala, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia mau mensucikan dirinya? Atau ia ingin mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu bermanfaat baginya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu jika ia tidak mensucikan dirinya. Dan adapun orang yang datang kepadamu dg bersegera. Sedang ia takut kepada Allah. Maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan begitu! Karena sesungguhnya ajaran Allah itu adalah suatu peringatan.” (‘Abasa: 1-11)
Bahwa bimbingan Allah Taala itupun bertahap, dari mulai cara yang paling halus sampai kepada hukuman (yaitu dg membuat beliau jatuh pingsan). Demikianlah seorang ibu terhadap anaknya pun hendaklah mengikuti teladan yang sangat tinggi ini, yakni hendaklah ia mendidik anaknya dg cara yang sehalus mungkin untuk melaksanakan aturan Ilahi akan tetapi jika anaknya tidak juga mau berubah maka hendaklah ia menjatuhkan teguran dan hukuman/sanksi ketika anaknya tidak menurut, mengapa harus demikian? Karena kasih-sayang kita pd anak kita hendaklah kita lebih mementingkan agar bagaimana kita menyelamatkan mereka dari api neraka yang menyala di Hari Akhir kelak, dibandingkan dg sekadar takut ia sedih atau sakit hati, sebagaimana firman Allah Taala, “Wahai orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang BAHAN BAKARNYA ADALAH MANUSIA DAN BATU dan PENJAGANYA ADALAH MALAIKAT YANG KEJAM DAN BENGIS yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mereka selalu melaksanakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
[1] Diringkas dari Sirah Ibnu Hisyam, 1/80; juga diriwayatkan oleh at-Thabari dalam tarikh-nya, 2/87; juga Baihaqi dalam sunan-nya; dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah.
[2] HR Bukhari
[3] Diriwayatkan oleh Ibnul Atsir dan Hakim dari Ali ra; juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Ammar ra.
Oleh: Tim dakwatuna.com
Monday, April 6, 2009
Perjalanan Pertama Ke Syam Dan Usaha Mencari Rezki
Wednesday, March 18, 2009
Membaca Kasih Sayang Allah SWT
“Dan Dia (Allah) Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim lagi sangat mengingkari (kufur nikmat)“. (Ibrahim: 34)
Membaca merupakan perintah pertama Allah dalam Al-Qur’an yang ditujukan langsung kepada manusia pilihan-Nya, Rasulullah saw. melalui wahyu pertama ‘Iqra’ (bacalah) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan’ (Al-Alaq: 1). Membaca di sini harus difahami dalam arti yang luas karena memang objek membaca dalam wahyu pertama tersebut tidak dibatasi dan tidak ditentukan; Bacalah! Berarti beragam yang layak dan harus dibaca. Salah satu objek terbesar yang harus dibaca adalah kasih sayang Allah swt. yang terhampar di seluruh jagat raya ini tanpa terkecuali. Semuanya adalah bukti dan tanda kasih sayang Allah swt. untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Untuk itu, ayat di atas hadir untuk mengingatkan manusia akan kasih sayang Allah swt. yang memberikan segala yang dibutuhkan, sekaligus merupakan perintah untuk senantiasa membaca karunia tersebut agar tidak termasuk orang yang zalim, apalagi kufur nikmat seperti yang disebutkan di kalimat terakhir ayat tersebut di atas ‘Sesungguhnya manusia itu sangat zalim lagi sangat ingkar nikmat.’
Tentu, ayat ini tidak berdiri sendiri seperti juga seluruh ayat-ayat Al-Quran. Setiap ayat memiliki keterkaitan dan korelasi dengan ayat sebelum atau sesudahnya yang menunjukkan ‘wahdatul Qur’an’ kesatuan dan kesepaduan ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk ayat di atas ini harus dibaca dengan mengkorelasikannya dengan dua ayat sebelumnya yang menggambarkan sekian banyak dari nikmat Allah swt. yang harus dibaca dengan penuh kesadaran:
“Allahlah Yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan dari langit, Kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia pula telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendakNya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (Ibrahim: 32-33).
Ayat yang senada dengan ayat di atas dalam bentuk tantangan Allah kepada seluruh makhlukNya sekaligus perintahNya untuk membaca hamparan karunia nikmatNya yang tiada terhingga adalah surah An-Nahl: 18:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam penutup ayat ini Allah swt. hadir dengan dua sifat yang merupakan puncak dari kasih sayang-Nya, yaitu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.
Ibnu Katsir mengungkapkan penafsirannya dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim bahwa selain dari perintah Allah untuk membaca nikmat Allah, pada masa yang sama merupakan sebuah pernyataan akan ketidak berdayaan hamba Allah swt. dalam menghitung nikmat-Nya, apalagi menjalankan kesyukuran karenanya, seperti yang dinyatakan oleh Thalq bin Habib:
“Sesungguhnya hak Allah sangat berat untuk dipenuhi oleh hamba-Nya. Demikian juga nikmat Allah begitu banyak untuk disyukuri oleh hamba-Nya. Karenanya mereka harus bertaubat siang dan malam.”
Membaca kasih sayang Allah swt. merupakan langkah awal mensyukuri nikmat-Nya. Untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan syukur nikmat, paling tidak terdapat empat langkah yang harus dipenuhinya: pertama, Mengekpresikan kegembiraan dengan kehadiran nikmat tersebut. Kedua, Mengapresiasikan rasa syukur atas nikmat tersebut dengan ungkapan lisan dalam bentuk pujian. Ketiga, membangun komitmen dengan memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemberi nikmat. Keempat, Mengembangkan dan memberdayakannya agar melahirkan kenikmatan yang lebih besar di masa yang akan datang sesuai dengan janji Allah swt. dalam firman-Nya:
“Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu.” (Ibrahim: 7) Di sini kesyukuran justru diuji apakah dapat membuahkan kenikmatan yang lain atau malah sebaliknya, menghalangi hadirnya nikmat Allah swt. dalam bentuk yang lainnya.
Ternyata memang mega proyek Iblis terhadap manusia adalah bagaimana menjauhkannya dari kasih sayang Allah swt. sehingga mereka senantiasa hanya membaca ujian dan cobaan yang menimpanya agar mereka tidak termasuk kedalam golongan yang mensyukuri nikmat-Nya. Padahal secara jujur, kasih sayang Allah swt. dalam bentuk anugerah nikmatNya pasti jauh lebih besar daripada ujian maupun sanksi-Nya. Di sini, kelemahan manusia membaca nikmat merupakan keberhasilan proyek iblis menyesatkan manusia. Allah menceritakan tentang proyek
Iblis dalam firman-Nya:
“Iblis menjawab: “Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.“ (Al-A’raf: 16-17)
Dalam konteks ini, sungguh usaha dan kerja Iblis tidak main-main. Ia akan memperdaya manusia dari seluruh segmentasi dan celah kehidupannya tanpa terkecuali. Dalam bahasa Prof. Mutawalli Sya’rowi, “Syaitan akan datang kepada manusia dari titik lemahnya (ya’tisy Syaithan min nuqthah dha’f lil insan).” Jika manusia kuat dari aspek harta, maka ia akan datang melalui pintu wanita. Jika ia kuat pada pintu wanita, ia akan datang dari pintu jabatan dan begitu seterusnya tanpa henti. Sehingga akhirnya hanya segelintir manusia yang akan selamat dari bujuk rayu syetan dan menjadi pribadi yang bersyukur. Allah swt. pernah berpesan kepada Nabi Daud dan keluarga-Nya agar mewaspadai hal tersebut dalam firman-Nya: “Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih (bersyukur).“ (Saba’: 13).
Memang hanya sedikit sekali yang cerdas dan bijak membaca kasih sayang Allah swt. Selebihnya adalah manusia yang suka berkeluh kesah, mengeluh dan tidak bersyukur atas karunia nikmat yang ada. Bahkan kerap menyalahkan orang lain, su’ud dzan dan berperasangka buruk kepada Allah swt. Padahal kebaikan dan pahala sikap syukur itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain. Karenanya ujian kesyukuran itu akan terus menyertai manusia sampai Allah benar-benar tahu siapa yang bersyukur diantara hamba-Nya dan siapa di antara mereka yang kufur. ‘Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan yang sedikit.‘ Allahu a’lam..(oleh Dr. attabiq luthfi, dakwatuna.com)